K.H Abdullah Sajad
Muh Alfin Mubarok
Siswa Kelas VII MTs Ar-Rois Cendekia
- 01 Februari 2023
Siswa Kelas VII MTs Ar-Rois Cendekia
Sang Pejuang dan Penyebar Islam di Semarang Wetan
K.H Abdullah sajad , seorang ulama bergaris keturunan Kerajaan Mataram Islam yang berdakwah di Semarang Wetan. Tepatnya di Kelurahan Sendangguwo, sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Tembalang.
Sendangguwo sekarang, tidaklah seperti dahulu saat K.H Abdullah Sajad datang. Ia di hantam dengan berbagai tantangan dan rintangan yang tidak mudah. Praktik-praktik kemusyrikan mewarnai kehidupan masyarakatnya.
Misalnya, di Sendangguwo dahulu dipercaya ada sebuah sendang atau tempat pemandian, dan di tengah sendang tersebut terdapat sumber air berbentuk gua di dasar air. Masyarakat mempercayai bahwa di tempat tersebut dihuni makhluk halus. Sebab itulah masyarakat Sendangguwo waktu itu tidak berani mengambil air di tengah sendang tersebut. Karena takut kualat atau mendapatkan musibah.
Ada juga kepercayaan masyarakat Sendangguwo yang mendengar suara lesung yang dipukul bertalu-talu setiap malam Jumat. Namun anehnya, saat didengar dengan seksama suara lesung tersebut menghilang. Di sekitaran sendang, kurang lebih 500 meter sebelah Barat terdapat sebuah gua yang dipercaya amatlah panjang ukurannya, yakni berawal dari daerah sendang tersebut dan ujungnya ada di daerah Kaliwungu, Kabupaten Kendal.
Praktik kemusyrikan, masyarakat kerap memberikan sesaji di dua tempat tersebut (gendang dan gua) untuk meminta berkah dan dijauhkan dari segala musibah. Tidak hanya itu, masyarakat juga sering melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk yang jauh dari ajaran Islam. Seperti mengadakan pesta dan tari-tarian yang berujung dengan perkelahian dan minum-minuman keras.
K.H Abdullah Sajad datang ke Sendangguwo atas perintah gurunya, K.H Sholeh Darat. Kyai Sholeh melihat kondisi masyarakat Semarang Timur saat itu, khususnya Sendangguwo yang begitu parah, utamanya dalam praktik-praktik kemusyrikan. Sehingga K.H Sholeh Darat memerintah murid kinasihnya untuk berdakwah di daerah tersebut.
K.H Abdullah Sajad, layaknya seorang santri, jika diperintah oleh gurunya pasti bersedia. Ada ungkapan umum di Pesantren, dari dahulu sampai saat ini yang terus menjadi pedoman kaum santri, yakni “Sendiko Dawuh”. Atas dasar itu, K.H Abdullah Sajad merasa tertantang untuk berdakwah agama, dan memperbaiki moral dan akhlak masyarakat Semarang Timur, khususnya Sendangguwo. Dia kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat itu.
Segala hambatan dan rintangan dihadapi oleh K.H Abdullah Sajad saat berdakwah. Bahkan Ia pernah ditantang oleh seseorang jawara yang memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi. Ia pun memerintah muridnya yang bernama Ma’ruf, agar menghadapi jawara tersebut. Atas restu dan do’a K.H Abdullah Sajad, Ma’ruf berhasil mengalahkan sang jawara. Sejak itulah, mulai banyak masyarakat sekitar yang segan dan menghormatinya.
Dakwah K.H Abdullah Sajad dapat membuahkan hasil. Masyarakat berbondong-bondong mengikuti ajaran yang dibawanya. Praktik-praktik kemusyrikan yang dilakukan masyarakat lambat laun mulai ditinggalkan dan penerapan nilai-nilai ke-Islam-an mulai dijalankan.
Penutupan sedang keramat yang digunakan sebagai media kemusyrikan, juga dilakukan oleh beliau. Dengan cara riyadah kepada Allah Swt, puasa beberapa hari dan sendang tersebut ditutup memakai batang sodo lanang (satu buah batang daun kelapa yang jatuh menancap tanah). Kemudian membaca doa yang berlafalkan, “Laa Ilaaha Ila Anta Yaa Hayuu Yaa Qayyum, Yaa Hannau Yaa Mananu Yaa Dayyanu Yaa Sulthon”.
Anehnya, selang beberapa hari di masjid yang beliau bangun di Sendangguwo tersebut, pada waktu pukul 03.00 dini hari terdapat suara yang melantunkan doa tersebut kembali. Ternyata, sumber suara tersebut berasal dari jin penunggu sendang. Sampai saat ini, lantunan do’a tersebut sering dilantunkan oleh masyarakat menjelang shalat subuh berjamaah di masjid yang dibangun oleh K.H Abdullah Sajad. Masjid tersebut saat ini bernama Masjid Jami’ As-Sajad.
Masjid yang didirikan Mbah Kyai Sajad digunakan untuk mengajar masyarakat tentang nilai-nilai ke-Islam-an, dan selanjutnya berkembang menjadi sebuah pondok pesantren. Namun, sangat sulit mendapatkan informasi tentang siapa para santri saat itu. Berdasarkan hasil wawancara dengan K.H Dzikron Abdullah (cucu K.H Abdullah Sajad), pengasuh Pondok Pesantren Ad-Daenuriyah, Pedurungan, Kota Semarang, santri generasi pertama saat itu adalah masyarakat sekitar dan ada beberapa santri yang datang dari daerah lain.
K.H Abdullah Sajad memiliki dua istri, yaitu Nyai Karsanah dan Nyai Qomariyah. Dari pernikahannya dengan Nyai Karsanah dikaruniai enam orang anak, di antaranya,
Dari keturunan istri pertama ini para cucunya terus bergiat dalam mengabdi dan membina masyarakat. Banyak cucunya yang mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren. Sampai sekarang tercatat pondok pesantren yang bernasab dengan K.H Abdullah Sajad, di antaranya,
Sedangkan, dari garis keturunan istri yang kedua, yaitu Nyai Qomariah, belum diketahui namanya. Hanya saja ada garis keturunan yang diketahui, yaitu cucunya yang bernama K.H Imran, pendiri Pondok Pesantren Yatim Piatu di daerah Penggaron, Pedurungan Semarang.
Kisah K.H Abdullah Sajad ini, dapat diambil hikmah atau pelajaran dari ke-tawadu’an-nya, dengan mematuhi perintah gurunya yang bernama K.H Sholeh Darat. Berbagai rintangan dan hambatan yang ada saat berdakwah untuk membenarkan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat di Sendangguwo, khususnya praktik-praktik kemusyrikan, Ia sangat sabar dan gigih dalam menyebarkan ajaran Islam. Berkat kegigihan dan semangatnya dalam berdakwah, Sendangguwo yang dahulu adalah tempat yang penuh dengan praktik-praktik kemusyrikan, sekarang menjadi desa tua yang terkenal dengan keislamannya.
Sumber :
– Wawancara dengan K.H Dzikron Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ad-Daenuriyah, Pedurungan, Kota Semarang
– Wawancara dengan K.H Drs. Anashom, M.Hum, Ketua PCNU Kota Semarang (buyut mantu K.H Abdullah Sajad)
– NU Online Jateng