Menumbuhkan Progresifitas
Cindy Nadya Dewi Pertiwi
Guru IPS dan TU MTs Ar-Rois Cendekia
- 01 Februari 2023
Guru IPS dan TU MTs Ar-Rois Cendekia
di Generasi Strawberry
Indonesia memang telah merdeka, bendera pusaka pun bebas berdiri di ujung tiang tertinggi, bahkan kita dengan bangganya memakai atribut negara. Namun, apalah daya arti dari semua itu jika politisi sibuk berlaga di depan media masa, memainkan sandiwara kata dengan hegemoni massa yang penuh dusta. Sedangkan rakyat sibuk mencibir fenomena-fenomena tak masuk akal semua berubah manjadi heters-heters kehausan kata. Bahkan sebuah jargon Bhineka Tunggal Ika tak lagi berdaya hanya tinggal sebuah syair belaka.
Begitulah fenomena sosial yang terjadi di zaman millenial ini, ada seseorang yang menyebutkan generasi sekarang ini adalah generasi strawberry yang mana dari segi bentuk dan warna, strawberry memiliki keindahan yang sangat menggoda. Namun, di balik keindahannya, buah itu begitu rapuh dan mudah rusak. Sama seperti generasi millenial yang kreatif, banyak akal, namun cepat menyerah dan mudah sakit hati. Karena sikap mudah sakit hati itulah hubungan antara generasi ini dengan generasi yang lebih tua menjadi mudah rusak. Sedikit dimarahi langsung depresi dan dengan mudah menyebarkan kegalauan ke mana-mana. Biasanya mereka akan menghubungi teman-temannya atau memanfaatkan media sosial sebagai tempat curhat.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia peran pemuda sangatlah besar. Pemuda dikenal sebagai Agent of Change dimana dibahunya memiliki tanggung jawab sosial yang harus diperankannya untuk membantu masyarakat dalam mengawasi kebijakan pemerintahan. Di zaman strawberry ini perlawanan bukan dilakukan dengan angkat senjata dan pertumpahan darah dimana-mana, namun perlawanan yang mempermainkan kata dengan dalil kebebasan berpendapat. Pemuda hari ini lebih suka menulis dimedia sosial yang menggambarkan perasaanya dibandingkan memberikan ide-ide kritis mereka untuk membuka nalar berfikir konsumsi media masa. Dari sinilah sikap apatis pemuda terbentuk dan menjadi sebuah karakter yang menjadi sebuah budaya.
Langkah awal yang harus dilakukan salah satunya menumbuhkan nalar kritis dan membangun budaya literasi di lingkungan sekolah. Mengapa harus di lingkungan sekolah, karena sekolah merupakan suatu institusi akademis yang harus terjaga budaya-budaya literasi meski zaman semakin dangkal dengan nalar berfikirnya. Untuk sekarang ini budaya menulis harus ditingkatkan lagi dengan cara menggabungkan nilai intelektual dan jiwa kritis yang dipadukan dengan semangat membawa perubahan.
Jangan sangka menulis hanya memainkan kata untuk membikin syair-syair membolak-balik perasaan belaka, dengan menulis kita bahkan dapat menghegemoni masa, membungkam para diktator yang otoriter, bahkan dengan menulis dapat membuat perubahan dalam sebuah peradaban. Karena menulis adalah tentang menjawab pertanyaan atau mempertanyakan jawaban pertanyaan.